Rabu, 23 November 2011

Wasiat dalam perspektif kompilasi hukum islam

Wasiat dalam perspektif kompilasi hukum islam - Wasiat - Hukum Islam - Hukum Perkawinan - Pengaturan Wasiat

Kalau Pada postingan sebelumnya saya sajikan Hukum waris adat, dan Hubungan Ilmu kalam, Tasawuf dan Filsafat, kali ini saya akan mencoba memaparkan tentang Wasiat dalam perspektif kompilasi hukum islam, simak saja langsung di bawah ini:

Pengaturan mengenai wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 di bawah Bab V tentang wasiat. Dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam tersebut diatur baik mengenai orang yang berhak untuk berwasiat (subjek wasiat), bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, pembatalan dan pencabutan wasiat, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan wasiat.

Terdapat dua syarat komulatif dan satu syarat tambahan orang yang berhak berwasiat sebagian harta miliknya (bandingkan A. Rachmad Budiono, 1999:173) sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 194 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, yang menetapkan bahwa “orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga”. Syarat kumulatif orang berwasiat tersebut sekurang-kurangnya berumur 21 tahun dan berakal sehat, sedangkan syarat tambahan orang berwasiat “tanpa ada paksaan”.

Rupanya Kompilasi Hukum Islam tidak lagi menggunakan ukuran-ukuran yang tidak mengandung kepastian hukum untuk menentukan apakah seorang itu cakap atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, melainkan mempergunakan batasan umur, yaitu sekurang-kurangnya 21 tahun. Angka ini pula dipergunakan oleh KUHPerdata Indonesia untuk menentukan apakah seseorang dewasa atau belum dewasa (A. Rachmad Budiono, 1999:173-174)


Supaya seseorang dapat menyatakan kehendaknya, maka ia harus berakal sehat. Syarat ini logis dan harus disertakan, sebab jika tidak, akan sulit diketahui apakah seseorang benar-benar ingin mewariskan harta bendanya atau tidak. Disini yang sulit mencari ukuran “berakal sehat” itu. Menjadi pertanyaan, apakah seseorang yang sangat mencintai orang lain ( jatuh cinta ), kemudian mewasiatkan harta bendanya kepada orang yang dicintainya itu, dapat dikatakan berakal sehat. Dalam hal ini yang menjadi pedoman umum adalah sepanjang tidak terbukti sebaliknya, seseorang harus dianggap sehat (A. Rachmad Budiono, 1999:174).

Tentang penerima wasiat dapat diketahui dari ketentuan Pasal 171 butir f dan Pasal 194 ayat (1) kKompalasi Hukum Islam, yaitu orang lain atau lembaga. Hal mana diketahui dari kata-kata “kepada orang lain atau lembaga”. Diketahui pula dari ketentuan dalam Pasal 196 Kompilasi Hukum Islam dari kata-kata “siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan”.

Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi penerima wasiat, kecuali pewasiat sendiri dan orang-orang yang secara tegas dikecualikan sebagai penerima wasiat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 195 ayat (3), Pasal 207, dan Pasal 208 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. ahli waris, kecuali untuk hal ini mendapat persetujuan atau disetujui oleh semua ahli waris;
2. orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali untuk hal ini ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa;

Notaris dan saksi-saksi pembuat akta wasiat yang bersangkutan.

Semoga Bermanfaat.

0 komentar:

Tinggalkan Komentarmu