Kamis, 24 November 2011

Filsafat KeTuhanan

Filsafat KeTuhanan - Ilmu Filsapat - Filsapat Hukum Islam - Tasawuf - Makalah Tentang Filsafat KeTuhanan - Hukum Islam - Kaum Sufi - Filsapat Dan Tasawuf - Ilmu Tauhid

Berikut pemaparannya:

I. Pengantar
Kepercayaan adanya Tuhan adalah dasar utama dalam paham keagamaan. Ketika seseorang mulai menyadari eksistensi dirinya, maka timbullah tanda tanya dalam hatinya tentang berbagai hal. Dalam hatinya yang dalam memancar kecenderungan untuk tahu berbagai rahasia yang merupakan bentuk misteri yang terselubung. Dalam membicarakan persoalan kepercayaan kepada Tuhan ada perbedaan antara Tuhan dengan ide tentang Tuhan. Ada tiga hal utama,[1] yaitu ; pertama, manusia bisa mempergunakan simbol dalam segala bidang, dan simbol akan berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan kecerdasan dan pengetahuan manusia. Manusia sudah menyembah Tuhan sebelum munculnya doktrin dan problem-problem filsafat mengenai Tuhan. Kedua, manusia menemukan kelompok-kelompok lain yang mempunyai ide tentang Tuhan yang berlainan dengan keyakinan yang ia miliki, timbullah pertanyaan, yang manakah ide yang benar tentang Tuhan. Dengan perkembangan pengetahuan, konsep-konsep lama tidak cukup dan memadai lagi untuk mempertahankan ide yang sama atau mengubahnya atau bahkan meninggalkannya. Ketiga, tidak ada pandangan individual tentang Tuhan yang dianggap final dan memadai. Pengetahuan berkembang dan tidak sempurna. Manusia merasa sukar untuk menjelaskan keyakinannya yang mendalam dengan cara yang memuaskan.

Fitrah manusia yang kemudian selalu bergejolak memikirkan, mencari dan merindukan Tuhan, mulai dari bentuk yang dangkal dan bersahaja berupa perasaan, serta ke tingkat yang lebih tinggi yaitu dengan penggunaan akal. Fitrah ini merupakan disposisi (kemampuan dasar yang mengandung kemungkinan untuk berkembang). Mengenai arah perkembangannya sangat tergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini sebagaimana telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW. : "setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, maka pengaruh pendidikan orang tuanyalah (orang dewasa), anak itu menjadi yahudi, nasrani, atau majusi". Hadist ini mengisyaratkan, bahwa faktor lingkungan, dalam hal ini orang tua sebagai orang terdekat dimana ia berada dalam suatu lingkungan, sangat berperan sekali dalam mempengaruhi fitrah keagamaan anak. Dari teori fitrah[2] itu sendiri yang dirumuskan dalam al-Qur'an (al-Rum : 30) menyatakan bahwa manusia terlahir dengan ide bawaan yang disebut fitrah dengan tiga daya utama, yaitu akal (quwwat al-'aql), berfungsi untuk mengenal, mengesakan, dan mencintai Tuhan; syahwat (quwwat al-syahwat) berfungsi untuk menginduksi segala yang menyenangkan; dan ghadab (quwwatu al-ghadlab), berfungsi untuk mempertahankan diri.

II. Apa atau Siapa Tuhan
Manusia adalah homo relegiuosis yang artinya adalah bahwa manusia itu pasti beragama,[3] baik agama yang besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam, maupun agama bagi masyarakat sederhana seperti masyarakat pedalaman, bagi mereka ada sesuatu yang disakralkan. manusia tidak akan lepas dari agama. Manusia sebagai makhluk yang satu-satunya dianugrahi akal oleh Tuhan juga mempunyai satu kelebihan yang sama sekali tidak dipunyai oleh makhluk yang lain, yaitu terbesitnya hati seseorang akan adanya sesuatu yang maha Agung. Seorang sarjana History of Religions, Joachim Wach (1898-1955), penulis The Comparative Study of Religions, menegaskan bahwa manusia itu dilahirkan dengan pembawaan beragama. Ia mengutip sarjana yang menyatakan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat "a permanent possibility of religion" atau bahwa perasaan keagaman yang merupakan "a consant and universal feature" dalam kehidupan mentalitas manusia. Selain itu manusia juga dikenal dengan sebutan homo devinan artinya manusia itu pasti bertuhan.[4] Spictitus (60-140 M) berpendapat bahwa Tekad mempercayai Tuhan itu kekal dan terus menerus seperti bernafas. Tapi sebaliknya pendapat dari S. Bereen; Tidak ada yang berani (nekad) mengingkari Tuhan selain daripada manusia. Lalu apakah Tuhan tersebut? Aristoteles mengatakan Tuhan adalah neosis atau noeseoos, yaitu akal yang tertinggi. Dalam filsafat Neoplatonisme, Tuhan berarti keesaan mutlak. Decrates memaknakan Tuhan sebagai puncak dari rasionalisme. Hegel mengartikan Tuhan dengan roh mutlak yang insaf akan diri sendiri.

Edgar S. Brightman[5], mencoba mendevinisikan Tuhan dengan sesuatu yang tertinggi yang mengalami alam semesta, yang menguasai proses alam semesta, untuk mencapai tujuan yang mengandung nilai paling tinggi. Dijelaskan, Tuhan sebagai Yang-Mengalami, yakni suatu kumpulan kesadaran yang dirasakan sebagai suatu keseluruhan. Yang-Mempunyai "identitas diri" dan meliputi "isi, bentuk dan kegiatan". Brightman berusaha menunjukkan hipotesanya tentang adanya Tuhan, karena adanya kebenaran serta akal dan sistem (yang tidak dapat dijelaskan atas dasar naturalisme). Dalam arti tertentu kebenaran adalah Tuhan, karena masing-masing merupakan sistem atau kesatuan.

Tuhan adalah sesuatu yang diagungkan, yang dilebihkan dari yang lain, tempat manusia mengadu dalam segala persoalan hidupnya. Dari batasan ini seolah-olah tidak ada satu pun manusia yang tidak ber-tuhan, hanya masalahnya siapakah yang dijadikan Tuhan oleh manusia. Umat Islam mutlak yang superada dan yang dipertuhan itu adalah Allah Subhahahu Wa Ta'ala, yang dijelaskan dalam al-Qur'an surat at-Taghabun : 14 ;[6] bahwa panggilan untuk yang superada itu adalah Allah; sebab Allah sendiri memperkenalkan dirinya dengan sebutan Allah. Harun Nasution[7] dalam filsafat al-Kindi, bahwa Tuhan itu unik, tidak mengandung arti juz'i (particular) dan pula tidak mengandung arti kulli (universal). Ia semata-mata satu hanya Ia-lah yang satu, selain-Nya mengandung arti banyak.

Secara filsafat, prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut, distinct dan unik. Absolut itu artinya keberadaanya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau diperbandingkan dengan yang lain (distinct). Kalau tuhan dapat diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya. Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi distinct dan tidak lagi mutlak.

Dalam gagasan Nietzsche [8]istilah Tuhan juga merujuk pada segala sesuatu yang dianggap mutlak kebenarannya. Sedang Nietzsche berpendapat tiada "Kebenaran Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang tak-terbantahkan". Karenanya, dia berkata, "Tuhan telah mati". "Kesalahan yang tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan" tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak dan tak terbantahkan itu sama saja. Jadi, persoalan umat manusia dalam proses pencairan Tuhan tiada lain proses penentuan peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai 'tak terbantahkan', atau mutlak, atau absolut. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim mendefiniskan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya.
Kemudian, menjauhkan Tuhan dari arti banyak, Al Farabi sebagai Plotinus, berpendapat bahwa alam ini memancar dari Tuhan dengan melalui akal-akal yang jumlahnya sepuluh. Antara alam materi dan Tuhan terdapat pengantara. Tuhan berfikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran ini memancarlah Akal Pertama. Akal Pertama berfikir tentang Tuhan dan dari pemikiran ini timbullah Akal Pertama. Akal ini berfikir tentang Tuhan dan timbullah Akal Ketiga dan demikian seterusnya sehingga terwujud Akal Kesepuluh.

Akal Pertama selanjutnya berfikir tentang dirinya dan dari pemikiran kedua ini timbullah langit pertama. Akal-akal lainnya juga berfikir tentang dirinya masing-masing dan dari pemikiran-pemikiran itu timbullah bintang-bintang, Saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus, Mercury, Bulan dan Bumi serta semua yang ada dalamnya. Dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa tidak mempunyai hubungan langsung, malahan jauh dari alam materi yang mengandung arti banyak ini. Demikian penjelasan Al Farabi bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Maha Esa.[9]
Begitupun menurut Al-Razi seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan tidak percaya pada wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini.[10]

Tuhan sebagaimana juga yang diperkenalkan dalam ajaran-ajaran lain sesuai dengan petunjuk dari tuhan itu sendiri ataupun berdasarkan persepsi atau gambaran tentang kondisi sifat-sifat sesuatu yang dipertuhankan yang dapat dihayati oleh pemimpin-pemimpin agamanya.[11] Seperti sebutan Sang Hyang Adhi Budha yang diperkenalkan oleh Sidharta Gautama, Sang Hyang Widi diperkenalkan oleh agama Hindu, Trinitas bagi pengikut agama Kristen, atau orang-orang Yunani Kuno menganggap Tuhan itu adalah Aktus Purus. Perbedaan Tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa, meski masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan apresiasi masing-masing atas konsepsi Ketuhanannya. Namun secara universal keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'Yang Tak Terbantahkan'.
Karena dalam agama teistik manapun, konsep Tuhan merupakan inti dari keimanan, ajaran, dan praktik. Konsep Tuhan menetapkan apa yang diakui oleh penganutnya sebagai halal atau sebaliknya. Ia membentuk sikap para penganutnya terhadap orang lain sebagai "golongan tak beriman" (unbelievers).[12] Ia mengilhami daya persepsi yang merumuskan bagaimana mereka mengkonsepsikan peranan mereka dalam mengatur kehidupan. Sebagai pembuktian bahwa adanya Tuhan menurut jalan fikiran atau filsafat ketuhanan dan kemahaesaan-Nya tentang kemestian adanya Tuhan menurut Juhaya S. Praja[13] diperkenalkan sebagai dalil klasik dengan argumen-argumen sebagai berikut;

1. Argumen Ontologis
Ontologi adalah teori tentang hakikat wujud, tentang hakikat yang ada. Argumen ontologis tentang hakikat wujud ini semata-mata berdasarkan atas argumen-argumen logika yang logis dan rasional. Argumen ini diperkenalkan pertama kali oleh Plato (428-348 SM), bahwa tiap-tiap yang ada di alam nyata mesti ada ideanya. Yang dimaksud dengan idea adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu. Yang ingin membuktikan dari ideanya, Plato ini, bahwa alam bersumber pada suatu kekuatan gaib yang bernama the Absolute, atau yang maha mutlak baik atau Tuhan.
ST Agustine (354-430 M), bahwa manusia mengetahui dari pengalamannya dalam hidup bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun akal manusia terkadang merasa ragu-ragu bahwa yang diketahuinya itu adalah kebenaran. Maksudnya adalah akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran mutlak dan kekal, kebenaran ini yang disebut Tuhan.

ST. Anselmus (1033-1109), bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesarannya tak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada. Zat yang serupa ini mesti mempunyai wujud dalam hakekat. Sesuatu yang maha besar, maha sempurna itu mesti mempunyai wujud, maka Tuhan mempunyai wujud, oleh karena itu Tuhan ada.
Rene Descarrtes memasuki kemestian adanya Tuhan melalui ilmu pasti. Bahwa wujud itu terkandung dalam zat Maha Sempurna dan Maha Besar, yang tidak boleh tidak mesti ada dalam zat terbesar dan tersempurna yang dibayangkan itu. Itulah Tuhan.
Ibn Sina[14] salah seorang filosof muslim juga mengembangkan argumen ontologi. Yang menurutnya ada tiga macam sesuatu yang ada, yaitu :

1. Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk
kejadiannya, selain dirinya sendiri (Tuhan).

2. Yang berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk kepada yang menjadikannya.

3. Makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak
butuh kepada kejadiannya.

Inti dari argumen ini adalah bahwa manusia ini memiliki konsep tentang sesuatu yang sempurna. Dan bila ia berfikir tentang sesuatu yang sempurna, niscaya terpikirkan olehnya tentang adanya sesuatu yang lain yang lebih sempurna itu mengantarkan pada adanya "Dzat Yang Maha Sempurna" yang tiada kesempurnaan lain selain Dia.
Argumen ini juga mendapat tantangan, bahwa wujud yang ada di dunia yang alam nyata ini belum tentu sama dengan bayangan aslinya. Sebab alam aslinya itu alam ghaib di atas jangkauan indera manusia. Immanuel Kant pun ikut mengkritik argumen ontologi ini dengan alasan wujud kepada konsep tentang sesuatu tidak membawa hal yang baru bagi konsep itu. Dengan kata lain konsep tentang kursi bayangan dan konsep kursi yang mempunyai wujud tidak ada perbedaannya.[15] Oleh karenanya argumen ini tidak meyakinkan atheis atau agnostic untuk percaya pada adanya Tuhan.

2. Argumen Kosmologis
Argumen kosmologi untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Aristoteles, murid Plato. Cosmological argument atau dalil tentang penciptaan adalah merupakan pembuktian paling tua dan sederhana tentang pembuktian adanya Tuhan.[16] Bahwa tiap benda yang dapat ditangkap panca indera mempunyai materi dan bentuk (matter and form). Bentuk merupakan hakikat atau konsep universal atau definisi sesuatu, maka ia adalah kekal dan tidak berubah-ubah. Akan tetapi dalam panca indera terdapat perubahan.[17]
Al-Kindi berpendapat bahwa alam ini diciptakan dan yang menciptakannya adalah Allah. Segala yang terjadi dalam alam ini mempunyai hubungan sebab dan musabab/ Sebab mempunyai efek pada musabab. Rentetan sebab musabab ini berakhir kepada sebab pertama yaitu Allah pencipta alam.[18]

Sedang Al-Farabi berargumen bahwa alam ini bersifat mumkin wujudnya dan oleh karena itu berhajat pada suatu zat yang bersifat wajib wujudnya untuk merubah kemungkinan wujudnya kepada yang hakiki, yaitu sebagai sebab bagi terciptanya wujud yang mungkin itu. Tuhan itu ada dalam arti wajib al-wujud atau necessary being, Tuhan itu mesti ada, berarti bahwa wujud Tuhan itu tak berhajat pada bukti, sebagaimana bundaran tak berhajat pada bukti. Ini adalah suatu hal yang jelas dengan sendirinya, tak memerlukan bukti.[19]

Inti dari argumen ini adalah bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakan, sebab seluruh perwujudan yang ada di alam ini, selamanya bergantung pada adanya perwujudan yang lain. Tidak mungkin ada di alam ini sesuatu yang wujud tanpa adanya yang memunculkan. Keteraturan alam ini pasti ada yang mengatur dan pasti ada yang menjadikan sebabnya. Sebab utama disebut dengan prima causa atau asbabul asbab[20]. Sedangkan rangkaian peristiwa atau gerakan itu, akan mengantarkan pula kepada adanya penggerak utama atau prima causa tersebut.
Kalau rangkaian sebab akibat atau gerakan itu terus diperturutkan niscaya terjadi "daur" (lingkaran gerak yang tak berujung atau berawal) atau tastaltsul (rangkaian gerak yang tidak berawal atau berakhir). Menurut akal yang sehat bahwa teori daur atau tastaltsul ini tidak mungkin. Bila tidak bisa diterima akal, maka harus dikatakan bahwa prima causa (penyebab utama) itu merupakan penggerak yang tidak digerakkan atau penyebab yang tidak diawali oleh penyebab lain. Prima causa atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain itu tiada lain adalah Allah.
Walau dalil ini dikritik juga oleh Immanuel Kant,[21] kalau wujud alam ini tidak wajib, apa sebabnya Dzat yang wajibul wujud ini menciptakan alam. Iqbal mengkritik, mestikah wajibul wujud itu suatu zat yang disebut Tuhan? Tidakkah bisa kosmos ini bersifat wajibul wujud itu? Keadaan argumen kosmologis bersifat kurang kuat didasarkan atas hakekat bahwa Aristoteles tak pernah bertanya : Adakah Tuhan? Logikanya mengenai bentuk dan materi membawa ia kepada bentuk yang tak mempunyai materi, sebagai akhir rentetan dari gerak dan penggerak yang timbul dari hubungan bentuk dan materi. Bentuk ini bukanlah Tuhan Pencipta Alam, tetapi penggerak pertama dari segala gerak.

3. Argumen Teleologis
Bahwa argumen ini merupakan penerapan dari argumen kosmologis dalam bentuknya yang lain. Segala perwujudan ini tersusun dalam sistim yang teratur, dan setiap benda yang di alam semesta ini memiliki tujuan-tujuan (theo;tujuan, teologis;ada tujuannya) tertentu. Ala mini keseluruhannya berevolusi dan beredar kepada suatu tujuan tertentu. Keteraturan alam tidak bisa tidak harus ada yang mengatur. Sumber keteraturan itu adalah Allah.[22]
Dalam teologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisme yang tersusun dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan bekerja sama untuk kepentingan organisme tersebut. Dunia dalam pandangan teologis tersusun dari bagian-bagian yang erat hubungannya satu sama lainnya dan bekerjasama untuk tujuan tertentu. Tujuan ini ialah kebaikan dunia dalam keseluruhannya.[23] Lontaran kritik dalam argumen ini bahwa alam tidak mempunyai tujuan, alasannya :

a. Permukaan bumi ada yang tandus, subur, apa perlunya.
b. Dalam diri manusia ada usus buntu, yang tidak ada perlunya bahkan berbahaya.
c. Anak-anak banyak yang meninggal pada usia relative muda, apa perlunya.
d. Bangsa-bangsa yang musnah dari permukaan bumi ini itupun apa perlunya.
e. Apa perlunya kejahatan dan pengrusakan yang ada di ala mini, padahal jelas ada larangan yang datang dari Allah untuk berbuat jahat dan merusak bumi.[24]

4. Argumen Moral
Immanuel Kant[25] mempelopori argumen Moral menyatakan bahwa perbuatan baik jadi baik tidak karena akibat-akibat baik yang akan ditimbulkan dari perbuatan itu dan tidak pula agama mengajarkan bahwa perbuatan itu baik. Perbuatan baik itu karena manusia tahu dari perasaan yang tertanam dalam jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk berbuat baik. Perasaan manusia berkewajiban untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan untuk menjauhi perbuatan buruk, tidak diperoleh dari pengalaman dunia, tetapi dibawa dari lahir.[26] Manusia lahir dengan perasaan itu. Kalau manusia merasa bahwa dalam dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, dan kalau perintah itu diperoleh bukan dari pengalaman tetapi telah terdapat dalam diri manusia, maka perintah itu mesti berasal dari suatu dzat yang tahu baik dan buruk. Dzat inilah yang disebut Tuhan. Walaupun argument ini mendapat kritik pula, yang berpangkal dari pengakuan yang ada perasaan moral yang tertanam dalam jiwa manusia yang berasal dari luar diri manusia, tidak dapat diterima, karena norma-norma moral tersebut bisa tidak objektif.

5. Argumen Epistemologis
Ibn Taimiyah menyodorkan argumen epistemologis yang bertujuan untuk membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan melalui teori-teori pengetahuan atau ilmu. Ilmu itu mempunyai dua sifat, ta'bi, yang dapat diterjemahkan obyektif; dan matbu' yang dapat diterjemahkan subyektif. Suatu ilmu yang keberadaan obyeknya tidak bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan si subyek (manusia) tentang obyek tersebut. Sedangkan yang bersifat subyektif ialah pengetahuan manusia sebagai subyek tentang obyek ilmu itu. Atau suatu ilmu itu dinyatakan ada kalau si subyek atau manusia mengetahui keberadaannya[27]. Kemudian dalam Islam, (yang penulis menitik beratkan tentang Tuhan dalam agama Islam), manusia dengan Tuhannya digambarkan oleh Imaduddin[28], bahwa semua dari kita yakin bahwa matahari itu adalah sumber energi, hanya sejauh mana manusia tadi memanfaatkan panas dari matahari tersebut. Ada yang sangat maksimal dan ada yang hanya untuk keperluan pribadinya saja. Seperti petani yang hanya untuk keperluan tanah garapannya saja, nelayan yang sebatas untuk menangkap ikan saja, berbeda dengan teknokrat yang memanfaatkan panas matahari tersebut untuk segala macam kehidupan manusia. Hal ini tidak jauh dengan pandangan sebagian manusia yang memandang Tuhan untuk hanya sebagian keperluannya saja, di waktu susah saja atau di waktu senang saja, berbeda dengan ulama yang memandang tuhan itu adalah tempat mengadu di waktu senang dan susah.

III. Mengenal Tuhan
"Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah bertuhan".[29] Artinya, ia menjadi seorang alim yang sangat mengenal Tuhannya yang fana dari dirinya dan dalam penyaksian keindahan dan keluhuran Yang Mahaawal, sebagaimana dikatakan Aristoteles; "Barangsiapa tidak mampu mengenal dirinya, maka ia tidak akan mampu mengenal Penciptanya". Mengenal diri, baik esensi maupun sifatnya merupakan awal menuju pengenalan tentang Tuhan. Mengenal diri adalah pegangan yang kuat dan sandaran yang kukuh dalam mendekatkan diri kepada Allah. Manusia, dengan pengetahuannya tentang hal-hal universal (kulliyyah), tidak mampu mengenali jenis-jenis dan macam-macamnya, terutama kaitannya dengan hal-hal yang bersifat relatif, dan tak mampu memperolehnya. Untuk mengenal Tuhannya Islam menurut Haidar Bagir di dalam pengantarnya tarjemah Allah, the concept of God in Islam karya Yasin T. Al-Jibouri, Mengenal Tuhan itu maka harus mengenal ciptaan-Nya. Pencipta dikenal dengan ciptaannya. Karena Tuhan Maha Pencipta, maka untuk mengenal Tuhan, maka harus mengenal ciptaan-Nya.[30]. Ulama besar dan pilosof muslim kontemporer Abdulkarim Al-khatib dalam bukunya Qadiyat al-Uluihiyah bain al Falsafah wad Din,[31] mengilustrasikan Tuhan sebagai berikut :

Yang melihat/mengenal Tuhan, pada hakekatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi kalbu yang bersih. Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair, atau mendengar gubahan seorang composer,…dengan melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat, -mampukah Anda melihat hasil karya seni mereka, mengenal mereka tanpa melihat mereka langsung? Memang Anda bisa mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi, Anda dapat membayangkannya sesuai kemampuan Anda membaca karya seni, namun Anda sendiri pada akhirnya akan sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda menyangkut para seniman itu, adalah bersifat pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalau pun ada yang sama, maka persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka, maka bagaimana dengan Tuhan, sedang Anda adalah setetes dari ciptaan-Nya?

Ketika Abu Bakar ditanya oleh Rasulullah "Bagaimana Engkau mengenal Tuhanmu?" Beliau menjawab "Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tak ada, Aku tak mengenal-Nya". Selanjutnya ketika beliau ditanya, "Bagaimana Anda mengenal-Nya?" Beliau menjawab, "Al 'ajizu 'anil Idraaki Idraaku (Ketidakmampuan mengenal-Nya adalah pengenalan)". Tuhan yang diperkenalkan oleh al-Qur'an tentu saja diperkenalkan-Nya dengan cara mengenal ciptaan-Nya dimaksudkan agar manusia dapat mengenal dan berinteraksi dengan-Nya, dapat kagum, takut, cinta serta memenuhi panggilan-Nya. Hanya saja Allah tidak diperkenalkan sebagai sesuatu yang bersifat materi, karena jika demikian pastilah ia berbentuk pasti terbatas dan membutuhkan tempat, dan ini menjadikan Dia bukan Tuhan karena Tuhan tidak membutuhkan sesuatu dan tidak pula terbatas. Tuhan tidak juga diperkenalkan sebagai sesuatu yang bersifat idea atau immaterial, yang tidak dapat diberi sifat atau digambarkan dalam kenyataan, atau dalam keadaan yang dapat dijangkau akal manusia.
Karena itu al-Qur'an menempuh cara pertengahan dalam mengenalkan Tuhan.

Dia, menurut al-Qur'an, antara lain; Maha Mendengar, Maha Melihat, Hidup, Berkehendak, Menghidupkan dan mematikan, dan Arrahman (Allah) bersemayam diatas Arasy "Tangan Allah di atas tangan mereka (manusia), bahkan Nabi saw menjelaskan bahwa Dia bergembira, berlari dan sebagainya yang kesemuanya mengantarkan manusia kepada pengenalan yang dapat terjangkau oleh akal, atau oleh potensi-potensi manusia. Tatkala Ali bin Abi Thalib[32] pernah ditanya oleh sahabatnya Zi'lib AlYam'ani, "Amirul Mukminin, Apakah Engkau pernah melihat Tuhanmu? Apakah aku menyembah apa yang tidak kulihat?" jawab beliau, "Bagaimana Engkau melihat-Nya?", "Dia tidak dapat diihat dengan pandangan mata, tetapi dijangkau oleh akal dengan hakekat keimanan". Yang dimaksud akal disana adalah bukan- sebagaimana pemahaman kita tentang makna akal yang merupakan daya nalar, tetapi akal dalam pengertian "gabungan antara daya kalbu dan daya nalar yang menghasilkan "ikatan" yang menghalangi manusia melakukan hal-hal negatif". Yang menunjukkan bahwa jangkauan itu bukan jangkauan nalar secara langsung, tetapi jangkauan nalar dan kalbu berdasar keimanan tentang sesuatu yang tidak dapat terjangkau. Mengenal Allah merupakan pilar utama dalam ajaran Islam. Tanpa pengetahuan tersebut, setiap perbuatan dalam Islam tidak punya nilai hakiki sama sekali: ia tidak punya esensi atau nilai. Mengenal-Nya secara krusial bersyarat : jika kita tidak mengenal jalan yang benar, kita tidak akan pernah bisa mencapai tujuan kita. Karena tanpa mengenal Allah dengan tepat, bagaimana kita bisa beribadah dengan tepat pula?

Dalam sebuah hadits, "Allah menciptakan Adam dalam bentuk (gambar)-Nya".[33] Karena Allah adalah nama yang meliputi segala, Tuhan pun menciptakan manusia dalam bentuk nama-nama-Nya. Apa yang menjadikan seorang manusia memiliki karakteristik tersendiri dan terbuka bagi berbagai kemungkinan. Namun, setiap manusia merupakan pantulan Tuhan yang "unik", karena dia senantiasa berada dalam penciptaan. Dan, sebagian dari mereka merupakan locus pengejawantahan yang memiliki keutamaan tersendiri dibanding dengan yang lain. Sebab, mereka mampu mengejawantahkan realitas-realitas ketuhanan ke dalam aktualisasi yang lebih nyata. Namun dalam mengejawantahkan tersebut, masing-masing memiliki tingkatan yang berbeda. Dalam masing-masing sifat, manusia dibedakan dalam hal tingkatan, sebagian memiliki sifat kesempurnaan dan intensitas yang lebih besar dari yang lain. Al-Qur'an menyatakan " dan di atas orang-orang yang berpengetahuan adalah Yang Maha Mengetahui" Q.S.12:76.

Hakikat Tuhan itu sendiri menyatakan pada manusia supaya mereka mengejawantahkan Bentuk Tuhan. Dengan kata lain, manusia perlu mengikuti petunjuk Syari'at, yang menyatakan padanya suatu ukuran yang sesuai dengan timbangan", yakni mengejawantahkan sifat-sifat ke dalam suatu keseimbangan yang sempurna dengan didasarkan pada norma-norma yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan telah diaktualisasikan oleh manusia yang paling sempurna, Nabi Muhammad saw. Untuk mengaktualisasikan kepenuhan potensialitasnya, merefleksikan nama-nama Tuhan dalam suatu keseimbangan yang sempurna dan selaras, manusia harus mengamalkan Syari'at.
Bentuk Tuhan yang dengannya manusia diciptakan, menjadikan manusia dibedakan dari seluruh makhluk lainnya, dan memberkatinya dengan ciri-ciri serta keutamaan-keutamaan khusus. Bentuk Tuhan, kata Ibn Araby[34], lebih tepat jika diterjemahkan "bentuk dari nama Tuhan", karena ia adalah (nama yang menunjuk pada) Esensi, nama yang meliputi segala nama, yang langsung berhubungan dengan penciptaan manusia.

Manusia yang mampu mencapai kesempurnaan hanyalah dia yang memiliki ilmu Tuhan yang sempurna serta mampu memadukan pernyataan akan keesaan Tuhan dengan "kesetaraan-"Nya. Para pendukung Kalam atau teologi dogmatis (Mu'tazilah dan Asy'ariyah) biasanya menggunakan istilah "sifat" sebagai pengganti "nama", namun keduanya menunjukkan pada makna yang sama. Nama-nama ini meringkaskan apa yang dapat dipahami tentang Tuhan. Bahkan para filosof Peripatetik yang cenderung "menjauhkan diri" dari ajaran al-Qur'an dalam pembahasan filosofisnya, seringkali berbicara tentang Tuhan melalui term-term Qur'ani. Nama-nama Tuhan tidak menunjukkan secara utuh pada nama-nama itu sendiri, tapi nama-nama dari nama-nama (Asma'ul Husna) yang telah diwahyukan oleh Tuhan kepada hamba-hamba-Nya melalui al-Qur'an dan berbagai bentuk pe-wahyu-an yang lain.[35]

Lebih lanjut Quraisy Shihab[36] menjelaskan, bahwa kalau sifat-sifat baik dan terpuji yang disandang manusia/makhluk, seperti hidup, kuasa, pengetahuan, pendengaran, penglihatan, dan sebagainya, maka pastilah Yang Maha Kuasa pun memiliki sifat-sifat baik dan terpuji dalam kapasitas dan substansi yang lebih sempurna, karena jika tidak demikian, apa arti kebutuhan manusia kepada-Nya? Suatu hal yang pasti pula juga bahwa Dia tidak mungkin menyandang sifat kekurangan, karena manusia tidak dapat membayangkan Tuhan yang didambakan memenuhi kebutuhannya itu, lemah atau memiliki kekurangan. Dia pasti sempurna dan tidak terbatas kecuali ada yang membatasinya, dengan memaksanya berhenti pada batas yang ditetapkan. Karena itu Tuhan tidak terbatas, bahkan Dialah yang memberi batas bagi segala sesuatu.

Dari al-Qur'an terdapat empat ayat yang menggunakan redaksi Asma'ul Husna yaitu :
♦ Q.S. Al-A'raf ayat 180
"Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan".
♦ Q.S. Al-Isra ayat 110
"Katakanlah : serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan namayang nama saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu:.
♦ Q.S. Thaha ayat 110
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaul husna (nama-nama yang terbaik)".
♦ Q.S. Al-Hashr ayat 24

"Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Kata al-asma adalah bentuk jamak dari kata al-Ism yang diterjemahkan dengan "nama". Ia berakar dari kata aasumu yang berarti ketinggian, atau assimah yang berarti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijungjung tinggi. Allah memiliki apa yang dinamakan-Nya sendiri dengan Al-Asma' dan bahwa Al-Asma' itu bersifat Husna. Kata Alhusna adalah bentuk muannats/feminism dari kata Ahsan yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlative ini, menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan yang baik lainnya, apakah yang baik selain-Nya itu wajar disandang-Nya atau tidak. Husna menunjukkan bahwa nama-nama-Nya adalah nama-nama yang amat sempurna, tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan. Walaupun nama/sifat yang disandang-Nya itu terambil dari bahasa manusia, namun kata yang digunakan saat disandang manusia, pasti selalu mengandung makna kebutuhan serta kekurangan tersebut dan ada pula yang dapat dipisahkan.
Yang sangat popular bahwa jumlah Al-Asma' Alhusna adalah sembilan puluh sembilan.[37] "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama-seratus kurang satu- siapa yang 'ashhaha' (mengetahui/menghitung/memeliharanya) maka dia masuk ke surga. Allah ganjil (Esa) senang pada yang ganjil" (H.R. Bukhari, Muslim, At-Tirmizy, Ibn Majah, Ahmad, dan lain-lain).

Sebagian nama-nama tersebut dapat dijumpai dalam al-Qur'an maupun hadits Nabi saw. Masing-masing nama menyatakan sifat Tuhan, Yang Maha Wujud. Pengaruh (atsar) atau "kekuatan" (hokum) dari masing-masing nama tersebut dapat "dirasakan" dalam setiap eksistensi jika kita diberi "ilham" dan "kearifan" untuk melakukan hal itu.
Nama Allah sendiri menunjuk pada Esensi, sifat-sifat serta perbuatan-perbuatn Tuhan. Esensi adalah Tuhan di dalam Dirinya Sendiri tanpa menunjuk pada yang selain-Nya. Dalam konteks ini, Tuhan tak terpahami kecuali oleh Dirinya Sendiri. Dia sebagaimana seringkali dinyatakan oleh Ibnu Araby,[38] "Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari alam semesta" Q.S. 3:97, dan hal ini termasuk di dalamnya segala pengetahuan yang ada di dunia. Tuhan sebagai Esensi dikontraskan dengan Tuhan sebagai Dia yang senantiasa berhubungan dengan kosmos, yang terejawantahkan melalui nama-nama-Nya, seperti Yang Maha Pencipta, Yang Maha Menjadikan, Yang Maha Adil, Yang Maha Memuliakan, Yang Maha Menghidupkan, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Membalas, Yang Maha Mema'afkan, Yang Maha Bersabar, dan yang lainnya. Karena Esensi Tuhan sepenuhnya terlepas dari dunia. Kosmos adalah Bukan Dia. Tetapi, sekalipun Tuhan sepenuhnya bebas dalam berhubungan dengan dunia, melalui sifat-sifat-Nya, seperti kreatifitas dan kemurahan, kosmos mengejawantahkan eksistensi-Nya. Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang Mutlak atau Tuhan itu sendiri.

Di dunia ini banyak agama yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Bahkan ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi Tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak mungkin semuanya benar. Kalau substansi si mutlak ini bervariasi, maka hal itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan informasi Tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah mencerminkan eksistensinya itu.

Jika kita menguji segala sesuatu yang ada di alam semesta, Tuhan sepenuhnya terlepas dari segala sesuatu tersebut dan keagungan-Nya tanpa batas. Dia-meminjam term teologis- tak dapat "disetarakan"[39] (tanzih) dengan setiap dan segala sesuatu. Namun, pada saat yang bersamaan, setiap sesuatu mengejawantahkan satu atau lebih dari sifat-sifat Tuhan, dan dalam hal ini, sesuatu tersebut dikatakan "memiliki keserupaan" (tasybih) –dalam beberapa hal- dengan Tuhan.
Jadi, diantara sifat-sifat Allah, pertama, adalah sifat-sifat hakiki sempurna (haqiqiyyah kamaliyyah) seperti kemurahan (al-jud), kekuasaan (al-qudrah), dan pengetahuan (al-'ilm), yang bukan tambahan bagi Zat-Nya, melainkan Zat itu sendiri dalam arti Zat-Nya dari segi hakikatnya sebagai asal dari sifat-sifat itu dari-Nya dan substansi makna yang dikandungnya; kedua, sifat negasi murni (salbiyyah mahdhah) seperti kekudusan (quddusiyyah), ketunggalan (fardiyyah), keazalian (azaliyyah) dan sebagainya. Ketiga, sifat-sifat penisbatan murni (idhaffiyyah mahdhah), seperti pencipta pertama (al-mubdi'iyyah), pencipta dari ketiadaan (al-mubdi'iyyah), pencipta (alkhaliqiyyah), dan sebagainya yang merupakan tambahan bagi Zat-Nya, yang mengikutinya dan mengikuti apa yang dengan sifat-sifat itu dinisbahkan pada Zat-Nya dan dengan wahdaniyyah-Nya tidak membutuhkan tambahan sifat-sifat ini. Sebab ketinggian dan kemuliaan Yang Wajib Ada itu bukanlah karena sifat-sifat idhafiyyah ini, melainkan karena keberadaan-Nya di dalam Zat-Nya yang darinya muncul sifat-sifat ini. Sifat hakiki-Nya tidak banyak, tidak terbilang, dan tidak ada perbedaan di dalamnya kecuali aspek penamaan.[40]

III. Penutup
Sebagai penutup saya kutip perkataannya Al Ghazali dalam bukunya Al-Maqasidul Asna,[41] yang membahas tentang Asma' Alhusna, bahwa "Ketuhanan" adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam bentuk benak, bahwa ada yang mengenalnya kecuali Allah atau yang sama dengan-Nya, dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenalnya kecuali Allah. Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah Yang Maha Tinggi sendiri, karena itu Dia tidak menganugerahkan kepada hamba-Nya yang termulia (Muhammad saw) kecuali nama yang diselubungi dengan firman-Nya "Sabbihisma Rabbika al A'la", Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Demi Allah tidak ada yang mengetahui Allah – di dunia dan di akhirat- kecuali Allah. Karena itu –tulis Al-Ghazali; "Jika Anda bertanya apakah puncak pengetahuan orang-orang arif tentang Allah?" Saya menjawab –kata Al-Ghazali-, "Puncak pengetahuan orang-orang arif adalah ketidakmampuan mengenal-Nya". Sesuai dengan yang diisyaratkan Nabi Muhammad saw ; Saya –Ya Allah- tidak menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifat-sifat ketuhanan-Mu. Hanya Engkau sendiri yang mampu untuk itu" – H.R. Ahmad.

Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Tinggalkan Komentarmu